Senin, 18 Januari 2016

CERPEN: Hikayat Usia Empat Puluh

Apa yang bisa diharapkan dari sebuah gerobak sampah. Saat hari tengah malam, saat gelap telah menguasai seisi bumi, hanya terdengar suara jangkrik yang asik berparade, jeritan kucing yang ingin kawin, dan ini masih pukul dua. Aku melihat nenek jimah berjalan cepat menghampiri gerobak sampah kami, mengorek-ngorek gerobak sampah yang selalu penuh tiap harinya dengan macam-macam sampah, dalam satu gerobak organik dan nonorganik jadi satu. Setiap harinya diujung pagi, jika engkau melewati lapangan karang kotagede jika beruntung, kau akan melihat segerombolan santri putri yang akan membuang sampah kepenampungan sampah lapangan karang. Bak sampah yang penuh akan selalu dibuang agar tidak menjadi sumber penyakit. Apa yang kami hindari malah enjadi sumber rejeki bagi nenek jimah. Perawakannya kecil mungil, rambutnya pendek sebahu dengan potongan bob sudah berwarna putih karna dikuasai uban, wajah kriputnya telah menjadi saksi perjalanan hari tuanya. Sungguh malang hidup nenek walijah hidup lontang-lantung tak terurus. Sudah seperti shalat lima waktu pertemuanku dengan nenek walijah, hampir setiap keluar gerbang pesantren ada nenek walijah disana, keluyuran tidak tentu arah dan tujuan akhirnya hanya satu, gerobak sampah. Berharap gerobak itu selalu penuh hingga bisa dipilah-pilah dan jadi sumber rezeki. Karna merasa pilu melihat kemalangan nenek walijah tidak jarang banyak orang memberi uang receh atau sekedar roti untuk pengganjal perut, sudah digariskan gerobak sampah bukanlah sumber kehidupan yang menyejahterakan, tapi kehadiran nenek waliah membuat aku mengerti ada kehidupan disana. Sungguh malang diri nenek walijah, keperihan hidup tidak membuat senyumnya menciut, dia tetap tersenyum dipagi dan petang. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah gerobak sampah ditengah malam seperti ini, kenapa nenek walijah selalu keluyuran tanpa aturan seprti sekarang, tujuannya tetap sama dengan puluhan tahun lalu, seakan rohnya telah menyatu bersama gerobak tua itu. Andai gerobak tua itu bisa menceritakan sebuah hikayat perjalanan hidup, nyatanya ia hanya saksi bisu sejarah. Sebenarnya sebelum aku melihat semuanya dengan mataku, aku telah mendengar hikayat usia empat puluh dengan telingaku, tentang persiapan seseorang menghadapi usia 40, diusia 40 orang sudah harus mulai menfokuskan hidupnya untuk Tuhan, walaupun itu harus dicicil dari muda. Usia 40 telah memiiki kematangan dalam berbagai aspek kehidupan. Usia 40 sering menjadi gambaran seperti apa seseorang diusia mudanya. Itupun kalau masih dipercayai untuk bernafas. Apa hubungannya dengan nenek walijah? Ternyata sebagai seorang nenek yang sehat, ia kesulitan menyebut nama Tuhanya, padahal ia adalah seorang muslim, ia tidak bisa mengucap lafadz “Allah.” Pernah disuatu masa ada seseorang yang mendatangi nenek walijah, nenek mencerikan kisah hidupnya yang terbuang. Ditanyai oleh seseorang itu,” nenek mislim?”Nenek walijah mengangguk, coba ucap lafadz “Allah”, nenek menggeleng “ora iso, jawab si nenek. Seseorang itu tidak habis akal dan mengambil uang lima ribu dan menunjukannya. “Iki piro? Tanya seseorang itu dengan menunjukan uang kertas bergambar imam bonjol. “Limang ewu, Ucap nenek walijah semringah. Coba ucap lafadz “Allah” lidah nenek kelu, suaranya hening seseorang itu tertegun. Nama Tuhanmu tersusun dari beberapa huruf saja, tapi kenapa uang lima ribu lebih mudah diingat. Ini masih diranah dunia betapa mengerikannya jika kelak diakherat, atau saat sakaratul maut. Kenapa bisa seperti itu? tanyaku pada seseorang itu, yang telah menjalani berubu kehidupan. “Karna diusia muda nenek itu telah melupakan tuhannya, dan kini saat tua ia kehilangan Tuhannya.” Ampuni aku tuhan, nasehat itu benar-benar mengakar malam ini, saat mata-mata terpejam meraih menghias malam, dan Engkau membangunkan hamba untuk menyaksikan pelajaran penghidupan yang tinggi. Mataku tatap terpaku pada nenek walijah yang masih asik mengorek- ngorek sampah disepertiga malam, terngiang pesan “sebagai sesama muslim masih ada tanggung jawab mendo’akan, dan jika hingga meninggal belum sempat bertaubat tetap do’akan, itu akan menjadi sedekah bagimu.” Hikayat usia 40 membuat aku mengerti, mengapa nenek walijah seperti orang linglung bahkan beberapa orang menganggapnya gila, saat ada anak kecil yang menangis dan rewel nama nenek walijah akan disebut-sebut dan seketika itu sianak akan diam. Hikayat usia 40 mengingatkan betapa hari muda mencerminkan hari tua. Aku kembali mendengarkan nasehat orang tua yang telah melewati beribu macam kehidupan. Hingga kini nenek walijah masih hidup dalam kebisuan, harinya masih ditemani gerobak sampah tua yang menambah kebisuan hari tuanya. Tsalisun Nisa Kotagede 16 januari 2015

0 komentar:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

Posting Komentar