Rabu, 24 Februari 2016

CERPEN: Harapan Kan GURU

Harapan itu tak pernah mati, bahkan saat kau merasa tidak bisa diharapkan. Harapan itu seperti bintang malam ini, di tengah keramaian lampu kota. Bintang terlihat redup, tapi keyakinan akan adanya bintang tetap ada. Aku duduk di pinggir jalan, di depan pendopo kampoeng Ketandan. Duduk sambil menyerutup sekuteng hangatku. Aroma sekuteng yang gurih, bau kacang bakar yang dipadu dengan jenang candil yang legit, ada aroma jahe yang hangat, potongan roti, kolang-kaling dan kuah yang mengepulkan asap kenangan. Sering kali, saat kau sudah berada dikehidupan yang sebenarnya, kau akan merindukan kehidupan di panggung-panggung pementasan, banyak pelajaran yang bisa diambil di sana, tidak hanya perkara tarik nafas, latihan vokal bahkan sampai teman dan saudara bisa kau dapati di sana. Tetap ada rasa rindu, meski pojok-pojok pementasan tidak lagi ramai seperti sudut-sudut bioskop yang semakin laris, miris memang saat seseorang sering merindukan kenangan tanpa bisa berbuat apapun. Bersama kehangatan malam aku ingin menuliskan kisah harapan. Harapan itu berawal dari sebuah naskah yang gagal pentas, tentang naskah yang berjudul “Kan Guru”. Bercerita tentang sistem kepemimpinan yang kacau dalam sebuah lembaga sekolah karena banyak korupsi. Kami sempat berfikir pementasan teater kami akan sukses setelah dua bulan berlatih, tapi nyatanya malah gagal pentas. Rasanya seperti petir di siang bolong. Tapi petir itu yang berhasil membuka gerbang-gerbang langit. “Kan Guru” telah mengenalkanku pada sang guru dan naskah-naskah teater, hingga aku menjalani hidup yang sebenarnya. Sudah lama aku tidak bertemu sang guru, terakhir aku dengar perkara kesehatan, sang guru merasa biasa-biasa saja kecuali penyakit liver yang telah mengecilkan tubuhnya dan menggelembungkan perutnya. Pola hidup yang kurang sehat di masa remajanya membuatnya ambruk, merokok, dan mengopi sudah seperti sepasang kekasih yang sulit ditinggalkan saat muda. Beliau sempat berobat kesana kemari, aku sangat sedih ketika diceritakan keadaannya saat itu. “Jadi apapun kami nanti, jangan berhenti menulis karena itu yang akan membesarkanmu.” Kurekam baik-baik pesan itu hingga hari ini. Pertemuan tidak bisa kau tunda, seperti halnya hujan yang ingin membasahi bumi. Walaupun aku belum siap menemuinya, entah sampai kapan. Di hari di mana aku harus menemui sang guru. Tubuhku sedang tidak baik karna aku baru terpeleset dari tangga, dengan hebatnya aku meluncur. Akibatnya dua tukang urut sudah kudatangi untuk meluruskan ototku, aku tidak hentinya mensugesti diriku bahwa aku baik-baik saja. Awan hitam telah menguasai langit seperti akan turun hujan, Aku bergegas menuju sebuah universitas negeri yang dikunjungi rombongan study tour. Aku tidak akan kehilangan kesempatan ini. Di antara bus hijau yang berjajar, aku melihat beliau. Badannya telah bugar. Beliau mengajak aku makan bersama rombongan. Menu yang disajikan di restoran ini sangat bermacam-macam. Aku makan ikan bawal dan sambal yang nikmat. “Mau sebagus apa pun tempatnya, mau seenak apapun makanannya sama saja” Kan Guru hanya mengambil lauk tempe dan kuluban, beliau sangat menjaga pola makannya setelah sakit yang panjang. Aku teruskan perjalananku menuju pantai dan berakhir di Malioboro saat malam telah datang. Di dalam bus yang berjalan, kami banyak bercerita. Kan guru banyak bercerita tentang kebangkitan kembali sanggar Saktah yang sempat fakum. Saktah dalam pelajaran bacaan Ghorib berarti berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. di dalam Al-Quran ada empat saktah tetapi sanggar sakta hanya ada satu di hati kami. Sanggar kami sudah mulai bernafas. Perhentian yang telah mencapai satu alif, sudah saatnya melanjutkan bacaan berikutnya. Jika dalam pementasan itu berarti karya. “Sudah berapa tulisan yang diterbitkan?” Pertanyaan itu seprti sudah berapa gol yang kau masukkan kegawang, saat kau masih mendapati diri sebagai cadangan. Terakhir, saat aku berpamitan, seperti apa yang dilakukan Kan Guru padaku dulu. Ia mengusap kepalaku dan mendoakanku seperti mantra. Kan guru tersenyum, sesuatu yang jarang ku dapati dulu. Ada harapan yang besar disana. Aku berbaur dengan ratusan orang di jalan malioboro yang padat. Kan guru t’lah menghilang di tengah keramaian. Teringat kata-kata seorang teman, badanku bergetar seketika. “Kan guru terlanjur berprasangka. Ia menyangkamu akan jadi orang besar. Ia seringkali membacakan dirimu di panggung panggung pementasan. Kau harus berusaha lebih keras.” Ada rasa sesak yang tertahan. Aku berlari menyusuri jalan panjang, berharap bisa mendapatkan sayap merasakan tubuh yang ringan dan menemui kenangan. Sayang seribu sayang, kenangan telah lebih dahulu terbang seperti kunang-kunang di tengah malam. Aku tersimpuh ditepi jalan dengan pundak yang terasa lebih berat. Kutemui surau kecil, ku letakkan keningku disana. Sujudku terasa lebih nikmat malam ini, kuserahkan semua agar hidupku lebih damai. Kupejamkan mata dan berharap. (Nisae Tsalisun)
Semoga ini adalah harapan yang menghidupkan.

2 komentar:

  1. Terima kasih atas apresiasi yang telah diberikan. Terus ikuti perkembangan karya kami selanjutnya. :)

    BalasHapus